Marilah kita mencoba untuk mengumpulkan pikiran kita menjadi satu titik fokus. Bayangkanlah suatu tempat dimana kita meras lepas, kita bebaskan diri kita dari semua permasalahan kita. Kita buang semua beban yang ada di pundak kita.
Mari kita rasakan betapa ringannya kita, tanpa ada halangan apapun. Senyum, senyumlah!
Sekarang, bayangkan kita berjalan di jalan setapak menuju ke suatu tempat. Jalan demi jalan kita lalui, dan sampailah kita di suatu rumah. Ya, rumah itu yang selalu memberi kita ketenangan, kenyaman, keteduhan. Tempat dimana kita selalu kembali setelah kita mengerjakan aktifitas, tempat terakhir dari tujuan kita setelah lama berjalan. Bayangkan pintu tempat kita pertama kali masuk untuk lepaskan dari hiruk pikuknya dunia luar. Jendela dimana kita bisa melihat suasana diluar sana.
Diteras rumah, ada seorang yang dengan tulusnya selalu memberikan kita senyum. Seorang yang tak henti-hentinya selalu mendoakan kita. Senyum yang selalu kita nantikan pada saat dia marah. Wajah keriputnya menjadi tanda ia gigih berjuang dalam kehidupan ini. Wajah keriputnya menjadi tanda ia mencoba untuk membuat orang-orang disekelilingnya untuk selalu tersenyum. Ya, itu adalah senyum dari bapak kita, ayah kita. Ya Robbi, betapa kau berikan wajah tua itu tenaga yang luar biasa untukku.
Masih ingat dalam pikiranku, betapa ia membantuku mencoba untuk menginjakkan kaki di bumi ini. Masih ku ingat ia tak henti-henti memberiku semangat untuk terus berdiri tatkala aku jatuh. Masih ku ingat ia tak henti-henti mengingatkan aku untuk tidak putus asa ketika pertama kali aku naik sepeda. Meskipun lutut ini penuh luka, ia terus memberiku semangat. ”terus, .terus! ayo jangan takut, bapak akan menjagamu! Ayo gerakkan kakimu, saying! kayuhlah sepedamu!” Masih ku ingat ia menggendongku saat aku sakit, membawaku sekedar berobat ke dokter walaupun ku tahu biaya untuk itu bapak tidak ada.
Ya Allah, tangan keriput itu yang tak henti mengusap kepalaku sembari dengan doa yang keluar dari bibirnya, “Ya Allah, jadikanlah dia anak yang sholeh dan sholehah, jadikanlah anak yang berbakti bagi keluarga. Jadikan ia kebanggaan keluarga. Jauhkanlah ia dari hal-hal yang tidak Engkau sukai”. Doa itu terus mengalir dari bibir keriputnya yang tidak pernah mengeluh meski kita sering tidak sopan padanya, meski kata-kata kasar kadang kita ucapkan, kata-kata yang tidak kita sadari telah menyakit hatinya.
Kini senyum itu tak lagi aku temui. Ya, kini Bapak telah pergi, kini aku rindu padamu, Pak. Aku rindu nasehatmu, aku rindu amarahmu, aku rindu doa-doa untukku. Bapak, maafkan semua yang tidak pantas aku lakukan untukmu.
Di samping Bapak, ada seorang perempuan tua dengan wajah keriputnya tersenyum tulus pada kita. Itu Ibu kita, wanita yang dengan kasih sayang tulus merawat kita tanpa mengharap balas. Wanita yang telah menghabiskan sisa hidupnya untuk menjaga kita, menjadikan kita anak yang baik dalam budi pekertinya. Dari ia-lah aku tahu mana yang baik.
Masih kuingat, tangan itu menyuapiku makan ketika aku merasa lapar. Ia selalu memberikan aku makanan terbaik, memerikan aku minum tatkala aku kehausan.
Dalam doanya, ia tak henti-henti meminta, “Ya Allah, jadikan ia anak yang baik, jadikan ia tempat aku menghabiskan sisa hidupku. Ya Robbi, ampinilah dosa-dosa yang pernah ia lakukan, ingatkanlah ia tatkala ia terlena denagn semuanya. Lindngi ia dari hal-hal yang buruk.” Doa itu, ya doa itu tulus keluar dari hati kecil dan bibirnya. Doa yang tak sebanding dengan apa yang telah aku lakukan padanya, kata-kata yang tidak pantas aku keluarkan. Pernah ibu memintaku untuk membeli telur, “Nak, tolong belikan ibu telur untuk lauk hari ini.” Tapi aku malah asyik bermain Handphone. “Nak, tolong ibu! Adikmu sudah menangis kelaparan” “Ah, Ibu, lagi tanggung nih Bu. Ibu saja sana yang beli!” Jawaban yang tidak semestinya aku keluarkan, walau aku tahu ibu juga sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Sering aku keluarkan kata-kat atau jawaban yang mungkin tanpa aku sadari telah menyakiti hati ibu. Kadang aku marah ketika ibu tidak melakukan apa yang aku minta, “Kenapa bajuku belum disetrika?”.
Ya Allah, ibu tidak pernah marah sedikitpun meski kata-kata tidak sopan sering aku lontarkan. Ibu terus tersenyum, sembari tak henti-hentinya berdoa, “Maafkan anakku, Ya Allah, dia belum tahu”. Meski aku tahu saat ini usiaku sudah akil baligh. Usia dimana seharusnya manusia sudah mengenal dan dibebanioleh berat ringannya dosa. Namun aku tidak tahu itu. Ya Allah, aku tidak bisa menemui lagi senyum yang penh dengan kesejukan itu, senyum yang memberiku ketenangan.
Ya Alla, Ya Robbi, telah banyak yang aku lakukan yang tidak semestinya untuk mereka, orang tuaku. Banyak aku keluarkan kata-kata tidak pantas, kata-kata yang mungkin membuat mereka saki hati. Tidak pernah mereka membalas apapun kelakuan buruk yang pernah aku lakukan. Mereka terus berdoa untukku, mereka menumpukkan harapan besar untukku. Mereka terbangun di malam hari sekedar memohon ampunan dan berdoa agar aku menjadi anak yang bisa membuat mereka bangga, memohon agar aku bisa menjadi tumpuan di hari tuanya kelak.
Tapi, apakah aku ingat mereka? Apakah aku sering mendoakan mereka? Tidak! Aku tidak pernah mendoakan mereka, aku asyik dengan duniaku sendiri, aku syik dengan apa yang aku kerjakan. Sholat? Bahkan aku lupa kapan terakhir aku melakukan itu. Berdoa? Bahkan aku lupa doa apa yang aku pinta untuk mereka. Ya Allah, maafkan aku. Maafkan untuk semuanya atas khilaf yang aku lakukan. Bapak, maafkan aku, telah banyak yang tidak pantas aku lakukan untukmu, telah banyak nasehat yang aku lupakan darimu. Aku rindu padamu, Pak! Aku rindu nasehat-nasehatmu!
Ibu, maafkan aku, telah banyak kata-kata tidak sopan yang keluar dari bibirku, telah banyak sikap yang tidak sepantasnya aku tunjukkan padamu. Aku rindu padamu, Ibu! Aku rindu dekapan dan kasih sayangmu!
Namun, dari hati kecilku, terimalah doaku untuk mereka, Ya Allah. Ampuni dosa-dosa mereka. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sejak aku kecil. Tempatkanlah mereka di tempat yang suci. Ya Allah, jaga mereka seperti mereka menjagaku sejak Engkau tiupkan roh dalam tubuhku.
Marilah kita renungkan kembali bahwa kita seperti ini juga karena jasa bapak ibu kita. Harapan kita, kita kita bisa merubah apa yang telah kita lakukan untuk menjadi lebih baik lagi. Ingat, setelah membaca tulisan ini, nanti bila kita bertemu orang tua kita, peluk dan bersujudlah kepada mereka. Meminta maaf atas segala kesalahan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar