Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswa nya dengan pertanyaan ini, "Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?".
Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, "Betul, Dia yang menciptakan semuanya".
"Tuhan menciptakan semuanya?" Tanya professor sekali lagi. "Ya, Pak, semuanya" kata mahasiswa tersebut.
Profesor itu menjawab, "Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan".
Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau Agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, "Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?".
"Tentu saja," jawab si Profesor,
Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, "Profesor, apakah dingin itu ada?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?" Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya.
Mahasiswa itu menjawab, "Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."
Mahasiswa itu melanjutkan, "Profesor, apakah gelap itu ada?"
Profesor itu menjawab, "Tentu saja itu ada."
Mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya mahasiswa itu bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya.
Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya." Profesor itu terdiam.
Nama mahasiswa itu adalah Albert Einstein .
Sabtu, 25 Desember 2010
Kamis, 23 Desember 2010
Untukmu, Orang tuaku
Marilah kita mencoba untuk mengumpulkan pikiran kita menjadi satu titik fokus. Bayangkanlah suatu tempat dimana kita meras lepas, kita bebaskan diri kita dari semua permasalahan kita. Kita buang semua beban yang ada di pundak kita.
Mari kita rasakan betapa ringannya kita, tanpa ada halangan apapun. Senyum, senyumlah!
Sekarang, bayangkan kita berjalan di jalan setapak menuju ke suatu tempat. Jalan demi jalan kita lalui, dan sampailah kita di suatu rumah. Ya, rumah itu yang selalu memberi kita ketenangan, kenyaman, keteduhan. Tempat dimana kita selalu kembali setelah kita mengerjakan aktifitas, tempat terakhir dari tujuan kita setelah lama berjalan. Bayangkan pintu tempat kita pertama kali masuk untuk lepaskan dari hiruk pikuknya dunia luar. Jendela dimana kita bisa melihat suasana diluar sana.
Diteras rumah, ada seorang yang dengan tulusnya selalu memberikan kita senyum. Seorang yang tak henti-hentinya selalu mendoakan kita. Senyum yang selalu kita nantikan pada saat dia marah. Wajah keriputnya menjadi tanda ia gigih berjuang dalam kehidupan ini. Wajah keriputnya menjadi tanda ia mencoba untuk membuat orang-orang disekelilingnya untuk selalu tersenyum. Ya, itu adalah senyum dari bapak kita, ayah kita. Ya Robbi, betapa kau berikan wajah tua itu tenaga yang luar biasa untukku.
Masih ingat dalam pikiranku, betapa ia membantuku mencoba untuk menginjakkan kaki di bumi ini. Masih ku ingat ia tak henti-henti memberiku semangat untuk terus berdiri tatkala aku jatuh. Masih ku ingat ia tak henti-henti mengingatkan aku untuk tidak putus asa ketika pertama kali aku naik sepeda. Meskipun lutut ini penuh luka, ia terus memberiku semangat. ”terus, .terus! ayo jangan takut, bapak akan menjagamu! Ayo gerakkan kakimu, saying! kayuhlah sepedamu!” Masih ku ingat ia menggendongku saat aku sakit, membawaku sekedar berobat ke dokter walaupun ku tahu biaya untuk itu bapak tidak ada.
Ya Allah, tangan keriput itu yang tak henti mengusap kepalaku sembari dengan doa yang keluar dari bibirnya, “Ya Allah, jadikanlah dia anak yang sholeh dan sholehah, jadikanlah anak yang berbakti bagi keluarga. Jadikan ia kebanggaan keluarga. Jauhkanlah ia dari hal-hal yang tidak Engkau sukai”. Doa itu terus mengalir dari bibir keriputnya yang tidak pernah mengeluh meski kita sering tidak sopan padanya, meski kata-kata kasar kadang kita ucapkan, kata-kata yang tidak kita sadari telah menyakit hatinya.
Kini senyum itu tak lagi aku temui. Ya, kini Bapak telah pergi, kini aku rindu padamu, Pak. Aku rindu nasehatmu, aku rindu amarahmu, aku rindu doa-doa untukku. Bapak, maafkan semua yang tidak pantas aku lakukan untukmu.
Di samping Bapak, ada seorang perempuan tua dengan wajah keriputnya tersenyum tulus pada kita. Itu Ibu kita, wanita yang dengan kasih sayang tulus merawat kita tanpa mengharap balas. Wanita yang telah menghabiskan sisa hidupnya untuk menjaga kita, menjadikan kita anak yang baik dalam budi pekertinya. Dari ia-lah aku tahu mana yang baik.
Masih kuingat, tangan itu menyuapiku makan ketika aku merasa lapar. Ia selalu memberikan aku makanan terbaik, memerikan aku minum tatkala aku kehausan.
Dalam doanya, ia tak henti-henti meminta, “Ya Allah, jadikan ia anak yang baik, jadikan ia tempat aku menghabiskan sisa hidupku. Ya Robbi, ampinilah dosa-dosa yang pernah ia lakukan, ingatkanlah ia tatkala ia terlena denagn semuanya. Lindngi ia dari hal-hal yang buruk.” Doa itu, ya doa itu tulus keluar dari hati kecil dan bibirnya. Doa yang tak sebanding dengan apa yang telah aku lakukan padanya, kata-kata yang tidak pantas aku keluarkan. Pernah ibu memintaku untuk membeli telur, “Nak, tolong belikan ibu telur untuk lauk hari ini.” Tapi aku malah asyik bermain Handphone. “Nak, tolong ibu! Adikmu sudah menangis kelaparan” “Ah, Ibu, lagi tanggung nih Bu. Ibu saja sana yang beli!” Jawaban yang tidak semestinya aku keluarkan, walau aku tahu ibu juga sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Sering aku keluarkan kata-kat atau jawaban yang mungkin tanpa aku sadari telah menyakiti hati ibu. Kadang aku marah ketika ibu tidak melakukan apa yang aku minta, “Kenapa bajuku belum disetrika?”.
Ya Allah, ibu tidak pernah marah sedikitpun meski kata-kata tidak sopan sering aku lontarkan. Ibu terus tersenyum, sembari tak henti-hentinya berdoa, “Maafkan anakku, Ya Allah, dia belum tahu”. Meski aku tahu saat ini usiaku sudah akil baligh. Usia dimana seharusnya manusia sudah mengenal dan dibebanioleh berat ringannya dosa. Namun aku tidak tahu itu. Ya Allah, aku tidak bisa menemui lagi senyum yang penh dengan kesejukan itu, senyum yang memberiku ketenangan.
Ya Alla, Ya Robbi, telah banyak yang aku lakukan yang tidak semestinya untuk mereka, orang tuaku. Banyak aku keluarkan kata-kata tidak pantas, kata-kata yang mungkin membuat mereka saki hati. Tidak pernah mereka membalas apapun kelakuan buruk yang pernah aku lakukan. Mereka terus berdoa untukku, mereka menumpukkan harapan besar untukku. Mereka terbangun di malam hari sekedar memohon ampunan dan berdoa agar aku menjadi anak yang bisa membuat mereka bangga, memohon agar aku bisa menjadi tumpuan di hari tuanya kelak.
Tapi, apakah aku ingat mereka? Apakah aku sering mendoakan mereka? Tidak! Aku tidak pernah mendoakan mereka, aku asyik dengan duniaku sendiri, aku syik dengan apa yang aku kerjakan. Sholat? Bahkan aku lupa kapan terakhir aku melakukan itu. Berdoa? Bahkan aku lupa doa apa yang aku pinta untuk mereka. Ya Allah, maafkan aku. Maafkan untuk semuanya atas khilaf yang aku lakukan. Bapak, maafkan aku, telah banyak yang tidak pantas aku lakukan untukmu, telah banyak nasehat yang aku lupakan darimu. Aku rindu padamu, Pak! Aku rindu nasehat-nasehatmu!
Ibu, maafkan aku, telah banyak kata-kata tidak sopan yang keluar dari bibirku, telah banyak sikap yang tidak sepantasnya aku tunjukkan padamu. Aku rindu padamu, Ibu! Aku rindu dekapan dan kasih sayangmu!
Namun, dari hati kecilku, terimalah doaku untuk mereka, Ya Allah. Ampuni dosa-dosa mereka. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sejak aku kecil. Tempatkanlah mereka di tempat yang suci. Ya Allah, jaga mereka seperti mereka menjagaku sejak Engkau tiupkan roh dalam tubuhku.
Marilah kita renungkan kembali bahwa kita seperti ini juga karena jasa bapak ibu kita. Harapan kita, kita kita bisa merubah apa yang telah kita lakukan untuk menjadi lebih baik lagi. Ingat, setelah membaca tulisan ini, nanti bila kita bertemu orang tua kita, peluk dan bersujudlah kepada mereka. Meminta maaf atas segala kesalahan kita.
Mari kita rasakan betapa ringannya kita, tanpa ada halangan apapun. Senyum, senyumlah!
Sekarang, bayangkan kita berjalan di jalan setapak menuju ke suatu tempat. Jalan demi jalan kita lalui, dan sampailah kita di suatu rumah. Ya, rumah itu yang selalu memberi kita ketenangan, kenyaman, keteduhan. Tempat dimana kita selalu kembali setelah kita mengerjakan aktifitas, tempat terakhir dari tujuan kita setelah lama berjalan. Bayangkan pintu tempat kita pertama kali masuk untuk lepaskan dari hiruk pikuknya dunia luar. Jendela dimana kita bisa melihat suasana diluar sana.
Diteras rumah, ada seorang yang dengan tulusnya selalu memberikan kita senyum. Seorang yang tak henti-hentinya selalu mendoakan kita. Senyum yang selalu kita nantikan pada saat dia marah. Wajah keriputnya menjadi tanda ia gigih berjuang dalam kehidupan ini. Wajah keriputnya menjadi tanda ia mencoba untuk membuat orang-orang disekelilingnya untuk selalu tersenyum. Ya, itu adalah senyum dari bapak kita, ayah kita. Ya Robbi, betapa kau berikan wajah tua itu tenaga yang luar biasa untukku.
Masih ingat dalam pikiranku, betapa ia membantuku mencoba untuk menginjakkan kaki di bumi ini. Masih ku ingat ia tak henti-henti memberiku semangat untuk terus berdiri tatkala aku jatuh. Masih ku ingat ia tak henti-henti mengingatkan aku untuk tidak putus asa ketika pertama kali aku naik sepeda. Meskipun lutut ini penuh luka, ia terus memberiku semangat. ”terus, .terus! ayo jangan takut, bapak akan menjagamu! Ayo gerakkan kakimu, saying! kayuhlah sepedamu!” Masih ku ingat ia menggendongku saat aku sakit, membawaku sekedar berobat ke dokter walaupun ku tahu biaya untuk itu bapak tidak ada.
Ya Allah, tangan keriput itu yang tak henti mengusap kepalaku sembari dengan doa yang keluar dari bibirnya, “Ya Allah, jadikanlah dia anak yang sholeh dan sholehah, jadikanlah anak yang berbakti bagi keluarga. Jadikan ia kebanggaan keluarga. Jauhkanlah ia dari hal-hal yang tidak Engkau sukai”. Doa itu terus mengalir dari bibir keriputnya yang tidak pernah mengeluh meski kita sering tidak sopan padanya, meski kata-kata kasar kadang kita ucapkan, kata-kata yang tidak kita sadari telah menyakit hatinya.
Kini senyum itu tak lagi aku temui. Ya, kini Bapak telah pergi, kini aku rindu padamu, Pak. Aku rindu nasehatmu, aku rindu amarahmu, aku rindu doa-doa untukku. Bapak, maafkan semua yang tidak pantas aku lakukan untukmu.
Di samping Bapak, ada seorang perempuan tua dengan wajah keriputnya tersenyum tulus pada kita. Itu Ibu kita, wanita yang dengan kasih sayang tulus merawat kita tanpa mengharap balas. Wanita yang telah menghabiskan sisa hidupnya untuk menjaga kita, menjadikan kita anak yang baik dalam budi pekertinya. Dari ia-lah aku tahu mana yang baik.
Masih kuingat, tangan itu menyuapiku makan ketika aku merasa lapar. Ia selalu memberikan aku makanan terbaik, memerikan aku minum tatkala aku kehausan.
Dalam doanya, ia tak henti-henti meminta, “Ya Allah, jadikan ia anak yang baik, jadikan ia tempat aku menghabiskan sisa hidupku. Ya Robbi, ampinilah dosa-dosa yang pernah ia lakukan, ingatkanlah ia tatkala ia terlena denagn semuanya. Lindngi ia dari hal-hal yang buruk.” Doa itu, ya doa itu tulus keluar dari hati kecil dan bibirnya. Doa yang tak sebanding dengan apa yang telah aku lakukan padanya, kata-kata yang tidak pantas aku keluarkan. Pernah ibu memintaku untuk membeli telur, “Nak, tolong belikan ibu telur untuk lauk hari ini.” Tapi aku malah asyik bermain Handphone. “Nak, tolong ibu! Adikmu sudah menangis kelaparan” “Ah, Ibu, lagi tanggung nih Bu. Ibu saja sana yang beli!” Jawaban yang tidak semestinya aku keluarkan, walau aku tahu ibu juga sibuk mengerjakan sesuatu di dapur. Sering aku keluarkan kata-kat atau jawaban yang mungkin tanpa aku sadari telah menyakiti hati ibu. Kadang aku marah ketika ibu tidak melakukan apa yang aku minta, “Kenapa bajuku belum disetrika?”.
Ya Allah, ibu tidak pernah marah sedikitpun meski kata-kata tidak sopan sering aku lontarkan. Ibu terus tersenyum, sembari tak henti-hentinya berdoa, “Maafkan anakku, Ya Allah, dia belum tahu”. Meski aku tahu saat ini usiaku sudah akil baligh. Usia dimana seharusnya manusia sudah mengenal dan dibebanioleh berat ringannya dosa. Namun aku tidak tahu itu. Ya Allah, aku tidak bisa menemui lagi senyum yang penh dengan kesejukan itu, senyum yang memberiku ketenangan.
Ya Alla, Ya Robbi, telah banyak yang aku lakukan yang tidak semestinya untuk mereka, orang tuaku. Banyak aku keluarkan kata-kata tidak pantas, kata-kata yang mungkin membuat mereka saki hati. Tidak pernah mereka membalas apapun kelakuan buruk yang pernah aku lakukan. Mereka terus berdoa untukku, mereka menumpukkan harapan besar untukku. Mereka terbangun di malam hari sekedar memohon ampunan dan berdoa agar aku menjadi anak yang bisa membuat mereka bangga, memohon agar aku bisa menjadi tumpuan di hari tuanya kelak.
Tapi, apakah aku ingat mereka? Apakah aku sering mendoakan mereka? Tidak! Aku tidak pernah mendoakan mereka, aku asyik dengan duniaku sendiri, aku syik dengan apa yang aku kerjakan. Sholat? Bahkan aku lupa kapan terakhir aku melakukan itu. Berdoa? Bahkan aku lupa doa apa yang aku pinta untuk mereka. Ya Allah, maafkan aku. Maafkan untuk semuanya atas khilaf yang aku lakukan. Bapak, maafkan aku, telah banyak yang tidak pantas aku lakukan untukmu, telah banyak nasehat yang aku lupakan darimu. Aku rindu padamu, Pak! Aku rindu nasehat-nasehatmu!
Ibu, maafkan aku, telah banyak kata-kata tidak sopan yang keluar dari bibirku, telah banyak sikap yang tidak sepantasnya aku tunjukkan padamu. Aku rindu padamu, Ibu! Aku rindu dekapan dan kasih sayangmu!
Namun, dari hati kecilku, terimalah doaku untuk mereka, Ya Allah. Ampuni dosa-dosa mereka. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sejak aku kecil. Tempatkanlah mereka di tempat yang suci. Ya Allah, jaga mereka seperti mereka menjagaku sejak Engkau tiupkan roh dalam tubuhku.
Marilah kita renungkan kembali bahwa kita seperti ini juga karena jasa bapak ibu kita. Harapan kita, kita kita bisa merubah apa yang telah kita lakukan untuk menjadi lebih baik lagi. Ingat, setelah membaca tulisan ini, nanti bila kita bertemu orang tua kita, peluk dan bersujudlah kepada mereka. Meminta maaf atas segala kesalahan kita.
Sabtu, 18 Desember 2010
Surat Cinta Untuk Pak SBY
Kepada Bapak Presiden yang saya hormati dan sayangi
apakabar pak ? semoga selalu dalam lindunganNya ya pak, amin. wah, saya ini buruk dalam merangkai kata. kok nekat yah bikin surat cinta untuk bapak karena cuma ini yang bisa saya lakukan . datang ke istana menghadap bapak tidak mungkin . pasti bapak sangat sibuk. open house lebaran lalu yang katanya untuk rakyat saja, rakyat yang bisa menemui bapak dibatasi, bagaimana kalau hari hari sibuk seperti sekarang . pasti sulit sekali ya pak..
Bapak Presiden yang saya cintai..
saya lelah mencela, saya lelah memaki, saya lelah menghujat.. tidak merubah apapun ternyata, kecuali angka pada tensi darah saya. kali ini saya bertanya, lalu meminta..
saya ini rakyat biasa, dapat informasi tentang bapak dan pemerintahan juga dari media. saya kadang bertanya, apakah media memang sengaja hanya memberitakan yang kurang baik saja, atau memang sedikit hal baik yang bapak lakukan untuk bangsa ini ? jujur saja pak, saya masih ingin mempercayai bapak. saya masih berharap banyak bapak pasang badan sebagai pemimpin bangsa ini demi kami.
disini saya tidak ingin bertanya tentang kejadian yang sudah sudah seperti ditutupnya ratusan gereja selama bapak berkuasa, kasus lumpur lapindo yang tak kunjung usai, UU pornografi yang tidak menunjukkan manfaat nyata pada moral bangsa Indonesia, selain malah menghabiskan dana untuk membahas rancangan UUnya dan demo dimana mana, atau tentang negara yang kembali hobi berhutang, atau tentang sistem pemilu yang -menurut saya- malah jadi lahan korupsi dan membuat Indonesia menjadi negara favorit produsen high-end brand (ehemm..) atauuuuu tentang tabung gas 3kg yang sempat ingin saya hadiahkan pada bapak saat bapak ulang tahun kemarin maksud saya siapa tau bapak belum pernah mencoba tabung ajaib yang selain bisa buat masak, bisa untuk mengebom rumah tetangga ini pak, ataaauu BLT yang -menurut saya lagi nih,- keputusan impulsif yang ahirnya malah memakan banyak korban. saya dengar banyak korbannya pak, lalu bagaimana kelanjutannya? atau tentang janji bapak yang berapi api waktu kampanye kemarin tentang pemberantasan korupsi dan ternyata ICW malah membeberkan fakta bahwa 54,85% terpidana kasus korupsi yang disidangkan di PN diputus BEBAS, atau tentang... huaaa banyak ya pak, maaf maaf, saya kebablasan.. bukan itu yang mau saya bahas pak, udah ketinggalan jaman yah pak, iya kan ? ummm tapi saya tetap kagum kok sama bapak, selain bapak tegas dalam menangani rencana pembakaran Alquran di AS sampai menyurati Presiden Obama, lagunya bapak bagus saya juga musisi loh pak, walaupun cuma musisi jalanan
karena semua yang saya bahas di atas itu sudah lewat, mari kita lupakan.. biarkanlah kami rakyat melapangkan dada untuk memaklumi bahwa urusan seorang presiden itu tidak sedikit, dan pada akhirnya saya pun berdamai dengan kenyataan tersebut. tapi..
pada suatu pagi dalam suasana lebaran, saya sedang menggoda ponakan saya sampai menangis, saya terkejut dengan adanya berita penusukan terhadap pendeta dari jemaat HKBP di Ciketing, Bekasi. wow, ini tahun 2010, dan ternyata kebebasan beragama masih belum terjamin. padahal Indonesia menjamin kebebasan beragama seperti disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. aduh saya nanti kalau sudah bahas pasal merembet kemana mana termasuk soal ahmadiyah itu pak, jadi saya stop dulu. saya ambil nafas sebentar, lalu kembali lagi ke soal penganiayaan pendeta HKBP. saya sempat marah marah di twitter saya pak (@MsBagan) tapi yah, sekali lagi, hanya omelan yang tidak mendatangkan apa apa selain tensi darah yang terus meninggi. saya, dan teman teman di twitter menunggu reaksi bapak. 24 jam pertama belum ada tanda tanda respon dari bapak, selain "menurunkan" bawahan terlebih dahulu untuk mengusut insiden ini, memang masih lebih baik daripada tidak bereaksi sama sekali pak. jauuhh lebih baik dan pada saat akhirnya bapak berkomentar mengenai insiden ini, yang keluar lagi lagi kata prihatin. sudah ? sama pak, saya juga prihatin. kita sama
saya coba lupakan persoalan ini, walaupun mengganjal di dalam benak saya. kenapa justru teman teman yang juga rakyat, sama seperti saya yang "turun langsung" menentang kekerasan dalam kebebasan beragama dengan aksi 1000 lilin di bundaran HI semalam. saya kembali berdamai dengan kenyataan bahwa "urusan presiden itu tidak sedikit".
sampai pagi ini, ketika saya mendengar (lagi lagi) dari media tentang bapak yang menegur, bahkan marah kepada dirut telkomsel ketika bapak gagal melakukan teleconference untuk memantau arus balik di Jawa Tengah dan Jawa Barat. saking marahnya bapak sampai berkata "Saya tidak suka ada kejadian pimpinan yang tidak merespons apapun" eng.. saya tidak ingin komentar soal statement bapak yang satu ini, takut salah yang ingin saya komentari adalah, bagaimana mungkin bapak hanya berkata "prihatin" atas insiden penganiayaan terhadap seorang pendeta, sedangkan marah dan berbicara tegas ketika terjadi kesalahan teknis pada saluran komunikasi. saya tertegun lama di depan komputer, sambil merenung. sebegitu banyakkah urusan negara Indonesia ini, sampai pemimpinnya tidak dapat lagi menentukan prioritas?
Bapak Presiden tersayang,
apakah saya masih boleh percaya kepada bapak ? apakah dalam empat tahun kedepan sisa masa kepemimpinan bapak, bapak bisa membuat saya dan jutaan rakyat Indonesia lainnya terharu bangga terhadap pemimpin Bangsa ini ? apakah pada akhir masa jabatan bapak nanti, rakyat yang memilih bapak akhirnya tahu, mereka tidak pernah salah memilih pemimpin? apakah berapa puluh tahun kedepan di dalam buku sejarah terukir sejarah indah tentang masa kepemimpinan bapak ? dan apakah saya juga bisa bercerita tentang bagaimana hebatnya bapak memimpin bangsa ini kepada generasi berikutnya?
melihat ketegasan bapak kepada Dirut Telkomsel hari ini, timbul harapan saya kedepannya bapak akan dapat setegas itu dalam menangani segala permasalahan yang terjadi, baik yang belum selesai atau yang akan datang. saya masih percaya kepada bapak, saya masih sangaaaatt berharap kepada bapak, dan saya yakin saya tidak sendiri. jutaan rakyat Indonesia di luar sana masih sangat berharap kepada pemimpin Bangsa ini, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
hormat saya,
Ladrina Bagan
apakabar pak ? semoga selalu dalam lindunganNya ya pak, amin. wah, saya ini buruk dalam merangkai kata. kok nekat yah bikin surat cinta untuk bapak karena cuma ini yang bisa saya lakukan . datang ke istana menghadap bapak tidak mungkin . pasti bapak sangat sibuk. open house lebaran lalu yang katanya untuk rakyat saja, rakyat yang bisa menemui bapak dibatasi, bagaimana kalau hari hari sibuk seperti sekarang . pasti sulit sekali ya pak..
Bapak Presiden yang saya cintai..
saya lelah mencela, saya lelah memaki, saya lelah menghujat.. tidak merubah apapun ternyata, kecuali angka pada tensi darah saya. kali ini saya bertanya, lalu meminta..
saya ini rakyat biasa, dapat informasi tentang bapak dan pemerintahan juga dari media. saya kadang bertanya, apakah media memang sengaja hanya memberitakan yang kurang baik saja, atau memang sedikit hal baik yang bapak lakukan untuk bangsa ini ? jujur saja pak, saya masih ingin mempercayai bapak. saya masih berharap banyak bapak pasang badan sebagai pemimpin bangsa ini demi kami.
disini saya tidak ingin bertanya tentang kejadian yang sudah sudah seperti ditutupnya ratusan gereja selama bapak berkuasa, kasus lumpur lapindo yang tak kunjung usai, UU pornografi yang tidak menunjukkan manfaat nyata pada moral bangsa Indonesia, selain malah menghabiskan dana untuk membahas rancangan UUnya dan demo dimana mana, atau tentang negara yang kembali hobi berhutang, atau tentang sistem pemilu yang -menurut saya- malah jadi lahan korupsi dan membuat Indonesia menjadi negara favorit produsen high-end brand (ehemm..) atauuuuu tentang tabung gas 3kg yang sempat ingin saya hadiahkan pada bapak saat bapak ulang tahun kemarin maksud saya siapa tau bapak belum pernah mencoba tabung ajaib yang selain bisa buat masak, bisa untuk mengebom rumah tetangga ini pak, ataaauu BLT yang -menurut saya lagi nih,- keputusan impulsif yang ahirnya malah memakan banyak korban. saya dengar banyak korbannya pak, lalu bagaimana kelanjutannya? atau tentang janji bapak yang berapi api waktu kampanye kemarin tentang pemberantasan korupsi dan ternyata ICW malah membeberkan fakta bahwa 54,85% terpidana kasus korupsi yang disidangkan di PN diputus BEBAS, atau tentang... huaaa banyak ya pak, maaf maaf, saya kebablasan.. bukan itu yang mau saya bahas pak, udah ketinggalan jaman yah pak, iya kan ? ummm tapi saya tetap kagum kok sama bapak, selain bapak tegas dalam menangani rencana pembakaran Alquran di AS sampai menyurati Presiden Obama, lagunya bapak bagus saya juga musisi loh pak, walaupun cuma musisi jalanan
karena semua yang saya bahas di atas itu sudah lewat, mari kita lupakan.. biarkanlah kami rakyat melapangkan dada untuk memaklumi bahwa urusan seorang presiden itu tidak sedikit, dan pada akhirnya saya pun berdamai dengan kenyataan tersebut. tapi..
pada suatu pagi dalam suasana lebaran, saya sedang menggoda ponakan saya sampai menangis, saya terkejut dengan adanya berita penusukan terhadap pendeta dari jemaat HKBP di Ciketing, Bekasi. wow, ini tahun 2010, dan ternyata kebebasan beragama masih belum terjamin. padahal Indonesia menjamin kebebasan beragama seperti disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. aduh saya nanti kalau sudah bahas pasal merembet kemana mana termasuk soal ahmadiyah itu pak, jadi saya stop dulu. saya ambil nafas sebentar, lalu kembali lagi ke soal penganiayaan pendeta HKBP. saya sempat marah marah di twitter saya pak (@MsBagan) tapi yah, sekali lagi, hanya omelan yang tidak mendatangkan apa apa selain tensi darah yang terus meninggi. saya, dan teman teman di twitter menunggu reaksi bapak. 24 jam pertama belum ada tanda tanda respon dari bapak, selain "menurunkan" bawahan terlebih dahulu untuk mengusut insiden ini, memang masih lebih baik daripada tidak bereaksi sama sekali pak. jauuhh lebih baik dan pada saat akhirnya bapak berkomentar mengenai insiden ini, yang keluar lagi lagi kata prihatin. sudah ? sama pak, saya juga prihatin. kita sama
saya coba lupakan persoalan ini, walaupun mengganjal di dalam benak saya. kenapa justru teman teman yang juga rakyat, sama seperti saya yang "turun langsung" menentang kekerasan dalam kebebasan beragama dengan aksi 1000 lilin di bundaran HI semalam. saya kembali berdamai dengan kenyataan bahwa "urusan presiden itu tidak sedikit".
sampai pagi ini, ketika saya mendengar (lagi lagi) dari media tentang bapak yang menegur, bahkan marah kepada dirut telkomsel ketika bapak gagal melakukan teleconference untuk memantau arus balik di Jawa Tengah dan Jawa Barat. saking marahnya bapak sampai berkata "Saya tidak suka ada kejadian pimpinan yang tidak merespons apapun" eng.. saya tidak ingin komentar soal statement bapak yang satu ini, takut salah yang ingin saya komentari adalah, bagaimana mungkin bapak hanya berkata "prihatin" atas insiden penganiayaan terhadap seorang pendeta, sedangkan marah dan berbicara tegas ketika terjadi kesalahan teknis pada saluran komunikasi. saya tertegun lama di depan komputer, sambil merenung. sebegitu banyakkah urusan negara Indonesia ini, sampai pemimpinnya tidak dapat lagi menentukan prioritas?
Bapak Presiden tersayang,
apakah saya masih boleh percaya kepada bapak ? apakah dalam empat tahun kedepan sisa masa kepemimpinan bapak, bapak bisa membuat saya dan jutaan rakyat Indonesia lainnya terharu bangga terhadap pemimpin Bangsa ini ? apakah pada akhir masa jabatan bapak nanti, rakyat yang memilih bapak akhirnya tahu, mereka tidak pernah salah memilih pemimpin? apakah berapa puluh tahun kedepan di dalam buku sejarah terukir sejarah indah tentang masa kepemimpinan bapak ? dan apakah saya juga bisa bercerita tentang bagaimana hebatnya bapak memimpin bangsa ini kepada generasi berikutnya?
melihat ketegasan bapak kepada Dirut Telkomsel hari ini, timbul harapan saya kedepannya bapak akan dapat setegas itu dalam menangani segala permasalahan yang terjadi, baik yang belum selesai atau yang akan datang. saya masih percaya kepada bapak, saya masih sangaaaatt berharap kepada bapak, dan saya yakin saya tidak sendiri. jutaan rakyat Indonesia di luar sana masih sangat berharap kepada pemimpin Bangsa ini, Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
hormat saya,
Ladrina Bagan
Langganan:
Postingan (Atom)