Kamis, 03 Maret 2011

Surat Untuk Bupati Pemalang

Assalamu’alikum Wr. Wb.
Yth. Bapak Bupati Kabupaten Pemalang

Perkenalkan, aku adalah anak laki-laki berumur sembilan tahun. Aku merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Adikku berumur lima tahun. Kini kami telah yatim piatu dan tidak bersekolah lagi.

Ini semua berawal dari ketidakbecusan pemerintah. Dulu, keluarga kami hidup secara normal. Mempunyai rumah sendiri, dan aku pun masih sekolah. Dulu, ayah bekerja sebagai petani, dan ibu berjualan gorengan. Walaupun hasilnya pas-pasan, tetapi dari hasil kerja keras mereka-lah kami bisa hidup senang walaupun hanya ada sedikit perabotan yang mengisi rumah kami, rumah yang berada di pelosok Kabupaten Pemalang. Walapun pelosok, tetapi kami merasa nyaman. Karena disini tidak seperti kota yang penuh asap, kemacetan, dan selalu bising oleh kendaraan bermotor.

Tepat di usiaku yang ke-8, tiba-tiba keluarga kami tertimpa musibah. Sawah milik ayah terserang hama. Semua padinya mati. Tak lama kemudian musim panas membuat sawah ayah mengalami kekeringan. Ayah bingung harus mencari uang kemana lagi. Pernah suatu hari, ayah mendapat tawaran dari paman untuk bekerja sebagai cleaning servis di kantornya. Tapi ayah menolaknya, ia beralasan karena tubuhnya yang sudah tua dan tak kuat untuk berlama-lama berdiri. Akhirnya, paman memberikan modal kepada ayah untuk membuka usaha kecil-kecilan. Ya, kini ayah mempunyai warung kecil di depan rumah. Kami sekeluarga senang. Kehidupan keluarga kami pun kembali normal. Setiap pulang sekolah, aku dan adikku sering membantu ayah berjualan, walaupun terkadang kami malah membuat repot ayah.

Kini ayah telah mempunyai penghasilan yang cukup. Bahkan, untuk menambah usahanya, ayah nekad meminjam uang lagi kepada paman. Ayah berjanji, jika suatu kelak nanti ia berhasil dengan usahanya ini, ia akan menyekolahkanku sampai mendapat gelar sarjana.

Ibu, kini ia bosan menjadi penjual gorengan. Ia ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih. Akhirnya, dengan uang hasil jualan ayah, ibu pun pergi ke Jakarta. Disana, ibu menjadi pembantu rumah tangga. Kata ibu, tinggal di Jakarta lebih cepat mendapatkan pekerjaan dibandingkan tinggal di Pemalang. Ya, walaupun hanya menjadi pembatu rumah tangga. Lagipula, di Jakarta gajinya juga lumayan besar. Setiap akhir bulan, ibu sering bercerita denganku lewat sebuah surat tentang kehidupan kota Jakarta yang gemerlap dengan sejuta pesonanya.

Lima bulan setelah ibu menjadi pembantu rumah tangga, tiba-tiba ia mengirim surat yang membuat kami terkejut. Ibu mengabarkan bahwa ia kerap disiksa oleh majikannya. Ditampar, dipukul, bahkan pernah disiram air panas. Entah apa penyebabnya, ibu tak mengatakannya. Ibu ingin pulang, namun ia tak punya biaya. Akhirnya, tepat tengah malam, ia nekad lari meninggalkan rumah majikannya. Namun naas, saat hendak menyeberang jalan, sebuah mobil menabrak ibu lalu meninggal. Kami sekeluarga sangat syok. Ayah terkena serangan jantung setelah mendapat kabar itu. Adikku kerap menangis di malam hari setiap ia membayangkan ibu. Hanya aku yang masih tabah menerima cobaan ini. Aku pun mencoba menenangkan keluargaku.

Sebulan setelah kematian ibu, kehidupan kami kembali normal. Ayah sudah sehat dan bisa berjualan lagi. Bahkan, ia sering mengantarkan aku berangkat sekolah. Kini ayah merangkap dua jabatan di rumah kami, sebagai kepala keluarga dan juga sebagai “ibu” bagi anak-anaknya.

Tanpa disadar, waktu pun berlalu begitu cepat. Satu tahun telah terlewat. Tapi sayang, akhir-akhir ini ayah sering sakit-sakitan. Asma ayah sering kambuh. Hingga akhirnya kami harus membawa ayah ke rumah sakit. Kami kaget saat mengetahui biaya berobat ayah yang sampai jutaan. Kami harus mendapatkan uang darimana? Sedangkan uang ayah hanya cukup untuk membeli makan kami sekeluarga. Kami bingung harus meminjam uang kemana lagi. Untung kami punya paman yang baik hati. Ia rela membiayai pengobatan ayah sampai keluar rumah sakit.

Satu minggu berlalu. Ayah sudah diperbolehkan pulag ke rumah. Namun ayah masih tidak diperbolehkan bekerja. Warung pun tidak ada yang megurusi. Kami kehabisan uang. Kami sering berhutang kesana kemari. Menjual ini, menjual itu. Sampai-sampai ayah berniat untuk menggadaikan rumahnya. Tapi itu semua aku tahan. Terkadang, kami terpaksa maka nasi bekas orang. Hingga pada suatu hari, kutemukan ayah terbujur kaku dengan leher terikat tali dan badannya menggantung di kamar mandi. Ayah bunuh diri. Inikah cara ayah untuk mengakhiri penderitaannya? Tepat di bawah jasad ayah, kutemukan sepucuk surat. Di surat itu, ayah berkata bahwa dia tak kuat lagi dengan cobaan ini. Ia terpaksa bunuh diri untuk menghindari hutang kepada tetangga. Di surat itu juga ayah menulis alamat rumah paman di Jakarta. Aku disuruh tinggal di sana.

Sebulan setelah kematian ayah, dengan dibekali secarik alamat paman dan juga sedikit uang, aku dan adikku pergi ke Jakarta. Ini pertama kalinya kami pergi sendirian. Kami bingung ketika sudah sampai disana. Disana kami harus apa? Dan kami juga tak mengerti mengapa ayah menyuruh kami pergi ke Jakarta.

Di Jakarta kami terlihat seperti gembel. Saat kami menuju alamat rumah paman, ternyata ia sudah pindah. Tidak ada satu tetangga pun yang mengerti kemana paman pindah. Hidup kami pun luntang-lantung. Tiap malam kami tidur di emperan toko, pasar, dan terkadang di masjid. Demi Tuhan, kami sekarang sudah menjadi gembel. Tak jarang kami juga terkena razia Satpol PP. Dipukuli, ditendang, ditampar, bahkan kadang diseret dan dipaksa ke kantor polisi untuk ditindaklanjuti.

Setelah pemeriksaan oleh Satpol PP, kami pun kembali ke jalalan. Syukur, di tengah perjalanan kami bertemu dengan pengamen. Kami berdua diselamatkan olehnya. Ia menyuruh kami tinggal bersamanya. Di gubuk tua miliknya, ia bercerita bahwa hidup di Jakarta memang keras. Jika kita tidak bisa mencari uang, kita perlahan-lahan akan mati kelaparan. Akhirnya, kami pun diberi pekerjaan. Aku berjualan koran, sedangkan adikku menjadi pengamen. Sejujurnya kami sangat sedih. Disaat anak-anak lain sibuk mencari ilmu dan bermain dengan penuh ceria, kami malah harus mencari uang. Seharusnya kini adikku sudah memasuki bangku kelas 1 SD. Tetapi demi kelangsungan hidup, terpaksa ia berlari dari bus ke bus untuk mengemis. Tak peduli terik matahari menyengat kulit mulusnya dan asap kendaraan menghitamkan wajahnya. Berbekal suara emasnya, ia rela menengadahkan tangannya sekedar untuk sekeping koin. Sedangkan aku, seharusnya kini aku sudah duduk di bangku kelas 1 SMP. Setiap shubuh datang, aku harus segera bangun dan menjual koran di lampu merah. Pekerjaan ini terpaksa kami lakukan dari pagi hingga malam.

Bapak Bupati yang saya hormati,
Karena seringnya membaca koran, kini aku mengerti siapa Anda, dan apa yang seharusnya Anda lakukan kepada kami dan ratusan warga yang nasibnya seperti kami. Karena seringnya membaca koran juga, kini aku bisa menulis surat untukmu. Ternyata engkau-lah yang selama ini kami cari. Engkau-lah yang mampu mengubah nasib ratusan, bahkan ribuan warga Pemalang. Orang yang mampu menghindari ibuku dari kekejaman majikannya. Orang yang mampu mengeluarkan ayahku dari lilitan hutang. Orang yang mampu menyekolahkan kami dan para anak jalanan lainnya. Dengan hanya sekali perintah saja kepada bawahanmu, semuanya akan berubah. Kami menunggu semua itu, Pak. Engkau adalah orang yang mampu melindungi anak-anak seperti kami dari siksaan kemiskinan yang memaksa kami hidup di jalanan, memaksa kami harus dipukuli oleh Satpol PP.

Bapak Bupati yang saya hormati,
Di Hari Jadi Kabupaten Pemalang yang ke-436 ini yang sekaligus pelantikan Anda menjadi Bupati Pemalang, aku atas nama ribuan warga Pemalang menginginkan suatu perubahan dari tangan Anda. Janji Anda saat kampanye masih segar di ingatan kami. Kami masih ingat semua janji yang Anda lontarkan kepada ribuan warga Pemalang. Dan sekarang saatnya kami menunggu janji itu menjadi nyata dan bukan sekedar omong kosong.

Pak, engkau-lah orang nomor satu di Kabupaten Pemalang. Di tanganmu-lah kami yakin perubahan pasti ada. Kami yakin engkau akan mewujudkan ribuan harapan warga Pemalang. Kami yakin suatu saat nanti jika engkau dapat mewujudkan harapan kami, kami akan terharu bahagia melihat engkau dalam memimpin kabupaten ini. Dan nanti, saat saat akhir masa jabatan bapak, kami akan tahu bahwa kami tidak pernah salah memilih pemimpin.

Pak, jika engkau tak mampu mewujudkan harapan kami, kami tak akan kecewa. Kami tak akan marah. Tapi Pak, kami mohon kepada engkau untuk mengamini doa kami, semoga kami bisa menggantikan posisimu ketika kami dewasa nanti. Kami berjanji, jika suatu saat nanti kami duduk di bangku emasmu, kami akan menolong ribuan warga Pemalang yang senasib dengan kami. Sampaikan salam kami kepada para bawahanmu, agar mereka juga mengamini doa kami, agar kami juga dapat menggantikan posisi mereka.

Sekian yang dapat saya ungkapkan lewat surat ini. Semoga di ulang tahun Kabupaten Pemalang yang ke-436 ini, di bawah kepemimpinan Anda, Pemalang bisa menjadi kabupaten yang terlihat baik di mata Indonesia, bahkan dunia.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

24 januari 2011,
Bertepatan dengan Hari Jadi kabupaten Pemalang yang ke-436
dan juga pelantikan bupati baru Kabupaten Pemalang.


Imamul Muttaqin